Sabtu, 07 Mei 2011

Pembelajaran Kooperatif : STAD (Student Teams-Achievement Divisions)

Proses STAD:

(1) guru menerangkan,

(2) murid belajar bersama dalam tim

(3) tes-akhir,

(4) penilaian dan penghargaan; quiz latihan dan quiz tes akhir


PBM/KBM teacher-centered vs student-centered

Proses atau kegiatan belajar-mengajar (PBM/KBM) itu ada kemungkinan terwujudkan dalam dua kubu ekstrim, teacher-centered atau TC (memusat-guru) atau student-centered atau SC (memusat-murid). PBM/KBM bersifat TC manakala (dalam kebanyakan pelaksanaannya sehari-hari) yang aktif lebih banyak guru. Guru berceramah, guru menerangkan (ekspositori), guru menjelaskan, guru memberi contoh atau meragakan (demonstrasi), dan sebagainya.

PBM/KBM bersifat SC apabila (dalam kebanyakanpelaksanaan kegiatan keseharian) murid yang aktif melakukan kegiatan belajar, guru hanya mengarahkan, membimbing, memberikan kemudahan (fasilitasi), membantu jika ada kesulitan, dan sebagainya.

Umumnya para pakar pendidikan memandang pendekatan (model) student-centered lebih baik untuk dilaksanakan. Di Indonesia hal itu sejalan dengan asas atau prinsip tut wuri handayani, walaupun tut wuri handayani itu lebih mengandung arti mendidik dengan prinsip mengikuti (tut wuri, following) kodrat siterdidik (pedidik: daya-daya potensial dan bakatnya) untuk mengembangkan daya-daya tersebut (handayani, andayani, empowering, memberdayakan). Jelasnya menyelaraskan pendidikan dengan daya-daya potensial dan bakat kodrati pedidik, dan membantunya mengembangkan daya-daya potensial dan bakatnya itu secara optimal.
Ihwal teacher atau student centered itu, jangan sampai salah memahami, dengan menganggap bahwa guru menerangkan atau berceramah (ekspositori) itu salah atau jelek.  Ada ketika guru harus menerangkan, harus menjelaskan, harus meragakan, harus memberi contoh, dan sebagainya. Tetapi, tidak terus-menerus guru mengajar dengan menerangkan saja, atau guru yang banyak bicara dan murid diam mendengarkan.

PEMBELAJARAN, istilah yang sekarang ini dipopulerkan, pada hakekatnya merupakan PBM/KBM yang student-centered, yang membuat murid aktif belajar mandiri. Jadi, aneh jika ada yang menyebut pembelajaran yang teacher-centered (Yang ada PBM/KBM yang teacher-centered). PEM-BELAJAR-AN secara bahasa mengandung arti usaha atau upaya membuat seseorang (orang lain) belajar, membuat mereka secara aktif mandiri melakukan kegiatan belajar, bukan pasif belajar (mendengarkan guru mengajar/mengajari). Jadi, istilah PENGAJARAN lebih netral daripada pembelajaran. Istilah pembelajaran itu bersifat preskriptif,  mengandung makna sebaiknya, seharusnya, seyogyanya, yaitu pengajaran itu seyogyanya membelajarkan murid. Sementara istilah pengajaran bersifat deskriptif, apa adanya, jadi bisa baik, bisa tidak baik, bisa efektif, bisa tidak efektif, bisa membelajarkan, bisa tidak membelajarkan.

Sebenarnya masih ada tipe ketiga, yaitu textbook-centered, yakni PBM/KBM yang memusat pada buku pelajaran. Tapi ini sebenarnya lebih cenderung ke student-centered, murid aktif mempelajari buku pelajaran–modul, misalnya. Tapi memang ada “kelas” yang muridnya diajari guru yang mengandalkan sepenuhnya pada buku atau LKS. Guru hanya “mendiktekan” isi buku, atau menugasi murid mengerjakan isi LKS.

Pengajaran yang membelajarkan dengan cooperative-learning

Salah satu upaya pembelajaran (pengajaran memusat murid) adalah membuat murid belajar berkelompok, bekerja bersama dan bekerja sama melakukan kegiatan belajar dalam kelompok. Ini yang lazim disebut dengan cooperative-learning, belajar dengan bekerja sama.

Kenapa cooperative-learning ini dianggap perlu dan penting dalam pendidikan? Pertama-tama dan terutama, karena tidak setiap orang bisa dan mampu bekerja sama. Tidak ada seorang pun yang sejak lahir mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan baik. Kemampuan itu harus dipelajari. Ini termasuk yang disebut dengan social-skill atau kecakapan hidup bermasyarakat (salah satu dari life-skills atau kecakapan hidup). Dalam slogan Unesco disebut dengan learning to live together (belajar untuk mampu hidup bermasyarakat).

Kedua, lewat belajar bekerja sama akan muncul berbagai sikap sosial yang positif, di antaranya saling menghargai dan menghormati, toleransi, tenggang rasa, kemampuan mengendalikan emosi, kesediaan untuk saling berbagi (take and give), simpati, dan empati (kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, memikir apa yang dipikirkan orang lain, berkehendak seperti yang dikehendaki orang lain).

Apa makna bekerja sama (cooperation) dari cooperative learning itu? Maknanya para murid secara bersama-sama berusaha agar semua murid, tanpa kecuali, bisa memahami atau menguasai materi pelajaran. Berusaha bersama-sama pintar, sama pintar dalam perbedaan yang tidak mencolok.

Cooperative-learning dengan sistem STAD

Bagaimana cara mengajari (mendidik) murid mampu bekerja sama dan bekerja bersama dalam kegiatan belajar itu? Salah satu teknik (sistem) yang dikembangkan Slavin (1977) adalah student teams-achievement divisions, disingkat STAD. Agak sulit menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Secara hakiki kira-kira akan bermakna bekerja sebagai tim, prestasi berbagi sebagai tim. “Teams-achievement” (dalam STAD disambungkan dengan garis sambung) yang bermakna prestasi tim, bukan prestasi individual murid, merupakan sesuatu yang ditekankan atau menjadi perhatian, dan sekaligus sebagai strategi guru mendidik sikap sosial.

Bagaimana jelasnya? Murid-murid (sekelas) dibagi ke dalam kelompok-kelompok atau tim (terdiri atas 4, 5 atau 6 orang). Murid-murid itu bekerja sama dalam tim mempelajari sesuatu materi pelajaran. Satu sama lain salingbantu untuk menguasai pelajaran. Keberhasilan (prestasi) belajar murid diukur dari prestasi tim, bukan prestasi orang per orang murid. Oleh karena itu, maka semakin tinggi rerata skor tim, semakin dianggap berhasil tim itu (dan anggota-anggotanyanya) belajar.

Contoh:

Dari lima anggota Tim A dua orang mendapat nilai 4, dua orang 7, dan satu orang lagi 9 (4-4-7-7-9). Nilai reratanya atau nilai tim jadinya 31:5 = 6,2.

Nilai tersebut jelas lebih jelek dibandingkan nilai anggota Tim B yang mendapat nilai 6-6-7-7-8 (rerata 34:5 = 6,8).  Dalam kelompok ini nilai yang diperoleh anggota relatif merata, tidak ada yang menonjol baik dan jelek. (Pada Kelompok A ada yang 4 walau ada yang 9).

Tim A jelek karena yang bodoh tetap (dibiarkan) bodoh (ada dua orang “bodoh” yang mendapat nilai 4), sementara Tim B bagus karena yang “bodoh” pun bisa ikut pintar (dipintarkan teman yang pintar; yang “bodoh” saja bisa dapat nilai 6).

Apa yang dikehendaki? Dalam tim (kelompok) diharapkan yang “pintar” dapat menarik atau “memapah” yang “bodoh.” Dengan kata lain, dalam tim atau kelompok itu diharapkan ada kegiatan tutor sebaya. Dengan “trick” menjadikan seseorang murid menjadi tutor sebaya itu, sekaligus pula akan dididikkan sikap sosial (dan kepribadian) kepada “orang-orang pintar” untuk tidak egois, sekaligus mengembangkan kemampuan “mengajar” kepada sesama pelajar, dan juga kepemimpinan yang humanis.

Di sisi lain, dikembangkan pula sikap (perilaku) menghargai dan menghormati orang lain (yang lebih pintar), serta kemampuan untuk mengukur diri sendiri dan mengakui kelemahan diri (“self-concept” positif bahwa realita diri memang “bodoh,” tetapi jika tidak malu dan mau belajar, walau kepada teman sendiri, tentu akan “pintar” juga).

Bagaimana tutor sebaya itu bisa muncul? Dari mana datangnya tutor? Kegiatan pertama kali STAD adalah guru memberikan penjelasan mengenai materi baru. Penjelasan guru tersebut paling tidak, diharapkan, dapat dipahami oleh anak-anak yang tergolong pintar. Anak yang relatif bodoh mungkin masih perlu waktu dan penjelasan lebih lanjut agar bisa paham benar. Nah, tugas anak yang sudah paham itulah membantu teman satu timnya yang belum paham mempelajari materi pelajaran agar sama-sama paham atau menguasai pelajaran.

Skenario pengajaran (PBM/KBM) dengan teknik (sistem) STAD

Sejalan dengan filosofi seperti diutarakan di atas, maka skenario pengajaran (PBM/KBM) cooperative learning dengan teknik (sistem) STAD itu ditata sebagai berikut.

1. Guru memberikan penjelasan. Jelasnya guru menerangkan (ekspositori) materi baru, memberi contoh cara mengerjakan soal baru, meragakan keterampilan baru dsb. Misalnya pelajaran baru Matematika mengenai cara menghitung luas segi tiga.

cooperative learning

2. Murid belajar dalam tim atau kelompok. Dalam tim atau kelompok itu murid-murid secara bersama memperdalam atau memperluas materi pelajaran, atau “menderes” (mengulang menghapalkan) materi pelajaran), atau berlatih bersama-sama (bekerja sama) mengerjakan soal-soal (“quiz latihan,” LKS, dsb.). Jadi, untuk tahap kedua STAD itu (kerja tim)  guru harus menyediakan tugas yang harus dikerjakan oleh semua kelompok. Misalnya murid bersama-sama berlatih menghitung luas segi tiga dengan ukuran yang berbeda-beda yang sudah disediakan guru

3. Tes akhir sesi. Pada akhir “sesi,” bisa akhir satu pertemuan, dua pertemuan, atau tiga pertemuan, tergantung pada isi pokok bahasan atau materi pelajaran, dan perkiraan siswa dapat menangkap atau menguasai pelajaran, diadakanlah tes individual, dengan “quiz tes,” misalnya. Dalam tes ini tentu tidak ada lagi kerja sama. Misalnya guru menyajikan beberapa gambar segi tiga dengan ukuran tertentu, dan murid diminta menghitungnya.

4. Penilaian dan pemberian penghargaan. Tes akhir sesi dikoreksi (dinilai) guru untuk nantinya diberitahukan kepada seluruh siswa. Ada pemberian bonus atau penghargaan (tidak harus selalu berupa materi) kepada tim terbaik (Lihat pula uraian di bawah nanti).

Merancang pelaksanaan STAD

Mengingat dalam tim itu harus ada kerja sama antara yang “pintar” dan “yang bodoh,” maka pembentukan tim harus memperhatikan kemampuan dasar anak. Jelasnya yang pintar-pintar dibagi merata atau setara ke dalam tim-tim atau kelompok-kelompok dimaksud.

Mengingat kegiatan belajar bersama dalam tim itu dilakukan setelah guru memberikan penjelasan materi baru, maka mata pelajaran apa yang akan di-STAD-kan  itu tentu harus dicermati benar. Jangan sampai tim tidak punya pekerjaan atau kegiatan karena yang harus dipelajari bersama sebenarnya tidak ada, karena sudah dengan amat sangat mudah dipahami semua murid.

Kedua, harus pula diperhatikan bahwa yang dipelajari itu ada efek individualnya, ada kemampuan individual orang per orang murid yang “tampak” ke permukaan, misalnya bisa hapal seratus nama tokoh sejarah, bisa mengerjakan soal matematika, bisa menyebutkan minimal 50 tanaman yang dikenal siswa termasuk kelompok dikotil apa monokotil, dan sebagainya.

Apakah pelajaran menggambar (kertakes) bisa dan perlu menggunakan STAD? Apakah pelajaran menyanyi bisa dan perlu menggunakan STAD? Apakah materi tertentu pelajaran PKn bisa dan perlu menggunakan STAD? Apakah materi tertentu pelajaran bahasa Indonesia perlu dan bisa menggunakan STAD? Perlu atau tidak perlu, bisa atau tidak bisa menggunakan STAD itu harus menjadi bahan pertimbangan pertama kali sebelum menggunakan STAD.

Jadi, kegiatan pertama adalah guru menerangkan atau menjelaskan materi baru. Materi ini harus dipelajari lebih jauh oleh murid agar benar-benar “dikuasai,” misalnya dengan MEMPRAKTEKKAN: praktek mengerjakan soal matematika, praktek membaca Qur’an dengan  tajwid yang benar, praktek wudu yang benar, praktek “menghapal” surat pendek atau doa, praktek menyusun kalimat yang baik dan benar, praktek menyanyi yang benar, dan praktek atau percobaan biologi atau fisika. Atau materi itu harus dihapalkan: menghapalkan nama-nama gunung, kota, dan sungai di Jawa Tengah dan letaknya (menggunakan peta buta, atau main tebak letak); menghapalkan nama dan peristiwa sejarah; menghapalkan dan memahami kosa kata baru bahasa Indonesia; dll.

Untuk kegiatan kerja tim itu guru dapat (bahkan harus) menyiapkan berbagai sarana belajar (atlas, peta buta, LKS, soal-soal matematika, “kamus” daftar kata-kata baru bahasa Indonesia, contoh huruf Jawa dan sebagainya, dan tugas-tugas yang harus dipraktekkan atau dicoba murid). Kelak dari soal atau tugas latihan dalam dan dengan tim (kelompok) itu guru akan membuat soal tes akhir sesi. Dalam kegiatan ini tutor sebaya memainkan perannya.

Bagaimana langkah 3 dan 4 STAD dilakukan? Langkah 3 adalah tes akhir, walaupun bukan tes sumatif, tapi tes formatif. Disebut tes akhir, maksudnya tes penguasaan materi pelajaran yang sudah dipelajari tersebut (pada pokok bahasan tertentu), bukan tes latihan lagi. Tes ini, seperti telah disebutkan, bersifat individual. Jadi dinilai orang per orang (dan tentu saja dikerjakan individual, tidak boleh ada kerja sama lagi).

Pengelolaan Hasil “Tes Akhir Sesi”

Apa yang dilakukan dengan hasil tes akhir (sesi)? Berikut dipaparkan salah satu kemungkinan (hasil rekaan penulis dari konsep Slavin ditambah dari peneliti lain, disesuaikan pula/lagi dengan perkiraan “tangkapan kepala guru-guru Indonesia.”

Model I, skor (nilai) hasil tes yang dipakai sebagai acuan keberhasilan adalah rerata nilai tim. Nilai anggota tim bukan nilainya sendiri, melainkan nilai rerata kelompok tadi. Jadi (dari contoh di muka), karena rerata nilai tim 6,2 saja, maka anak yang mendapat nilai 9 pun nilainya menjadi 6,2, bukan 9. Sebaliknya, anak yang mendapat nilai 4 jadi mendapat nilai 6,2.  Cara ini akan “memberi pelajaran” (“hukuman”) kepada anak yang pintar yang tidak bisa memintarkan teman-temannya (tidak bisa menjadi tutor sebaya), karena skor (nilainya) menjadi turun (harusnya 9, tetapi diberi 6,2).

Model Penilaian I tersebut mengandung kelemahan (hipotetis), yaitu anak yang bodoh bisa tidak berusaha belajar maksimal, karena akan “terbantu” oleh nilai murid yang pintar [Dalam contoh di atas, dapat nilai 4 pun akan menjadi 6,2]. Akan tetapi, karena akan “memacu” anak pintar harus mau membantu temannya, maka Model I itu tetap baik untuk dilakukan, walaupun mungkin hanya akan dijadikan dasar cara memberi nilai berikutnya, tidak terus menerus digunakan.

Model Penilaian I ini dapat diikuti dengan langkah 4, yaitu memberikan penghargaan kepada tim yang terbaik. Tim terbaik dapat diberi penghargaan berupa, misalnya, mendapatkan tambahan poin 1. Jadi, jika tim yang terbaik mendapatkan skor (nilai) rerata 6,8, maka nilai seluruh anggotanya (karena plus 1) akan menjadi 7,8. Dan tentu saja mendapat predikat “Tim Terbaik Minggu (atau Bulan) Ini.”

Pada kegiatan selanjutnya dengan materi atau pokok bahasan (subpokok bahasan) baru (dari mata pelajaran yang sama) dapat digunakan Model Penilaian II. Yang diperhatikan adalah besaran nilai kemajuan (perubahan nilai semula menjadi nilai sekarang atau “gain”) tiap-tiap anggota tim berbanding rerata skor pertama tim tersebut. Perubahan nilai (gain) itu, maksudnya jika  misalnya semula punya nilai 6 dan sekarang 7, berarti naik atau plus 1 (7 – 6 = 1). Sebaliknya, jika semula 6 dan sekarang mendapat 5, maka perolehan nilainya turun atau minus 1 (5 – 6 = -1).

Contoh konkritnya: Jika Tim A  rerata skor timnya 6,2, dan skor per individu (lima orang) yang diperoleh sekarang 4-6-7-7-8, maka “perubahan nilai” tiap-tiap murid sebagai berikut.

(1) Murid A = 4 – 6,2 = -2,2

(2) Murid B =  6 – 6,2 = -0,2

(3) Murid C =  7 – 6,2 = +0,8

(4) Murid D = 7 – 6,2 = +0,8

(5) Murid  E = 8 – 6,2 = +1,8

Selanjutnya nilai akhir tiap murid dihitung dengan cara menjumlahkan   skor pertama hasil dari Model I (rerata nilai tim, yaitu 6,2) ditambah nilai “gain”-nya sekarang (6,2 + “gain” = . . . ). Jadi, hasilnya (nilai akhir sesi ini) akan sebagai berikut. Agar tidak membingungkan semua “gain” dituliskan dalam kurung.

(1) Murid A = 6,2 + (-2,2) = 4,0

(2) Murid B = 6,2  + (-0,2) = 6,0

(3) Murid C = 6,2 + (+0,8) = 7,0

(4) Murid D = 6,2 + (+0,8) = 7,0

(5) Murid E = 6,2 + (+1,8) = 8,0.

Rerata skor tim jadinya 4,0 + 6,0 + 7,0 + 7,0 + 8,0 = 32,0 :  5 = 6,4. Jadi, sebagai tim hasil belajarnya hanya naik 0,2 poin saja (skor semula 6,2 sekarang 6,4).

Dengan Model II ini “murid yang bodoh” yang dikuatirkan dengan menggunakan penilaian Model I, yakni nilainya berupa nilai rerata kelompok atau tim (6,2) akan membuatnya malas belajar, hanya mengandalkan nilai teman-temannya yang pintar, akan kembali kelihatan “bodohnya”. Nilainya akhirnya rendah juga (nilainya 4).  Maka diharapkan (hipotetis) ia akan memacunya untuk mau berusaha belajar sungguh-sungguh, karena tidak bisa lagi mengandalkan mendapatkan keuntungan dari nilai teman yang pintar.

Tim mana yang menjadi TIM TERBAIK MINGGU INI? Tetap menggunakan perbandingan rerata nilai tim. Tim terbaik mendapat hadiah bonus nilai 1. Atau juga akan diberi hadiah pinsil per anggota tim?

Diharapkan (hipotetis) kebanggaan tim sebagai yang terbaik akan memacu semangat tim (esprit de corps) untuk bekerja sama, dan bersama-sama, meraih hasil belajar yang terbaik.

Namun demikian, rasa-rasanya di Indonesia penciptaan iklim kompetitif dimaksud tidak atau belum menjadi motivator siswa, tidak menggerakkan siswa, alias susah sekali diciptakan. Orang Indonesia suka “cuek” dengan prestasi. Tak perduli orang lain berprestasi, orang tersebut “etel” (rileks, santai) saja kata orang Jawa. Akan tapi, bagaimanapun, tetap harus dicoba. Mari berpikir positif, optimistik, tidak pesimistik. Iklim itu harus diciptakan dan dikembangkan.

Tapi, jangan lupa, iklim kompetitif itu hanya sarana untuk meningkatkan motivasi berprestasi, bukan tujuan. Mengapa harus berkompetisi? Kenapa tidak “mari bersama-sama menjadi orang yang berprestasi.” Mengapa tidak semua murid (tanpa kompetitif) mendapat nilai 10?!

Catatan akhir

KITA DAPAT MENGEMBANGKAN (BERINOVASI, MENEMUKAN) MODEL PENILAIAN LAIN yang akan memotivasi murid mau belajar bersama-sama, dan mau belajar untuk diri sendiri, lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar